Seragam Putih-Putih
Ini adalah sekedar berbagi pengalaman dan pendapat tentang seragam
perawat. Hari ini adalah kali kedua saya berkunjung ke Rumah Sakit di
sekitar Groningen, Netherland. Pengalaman pertama adalah kunjungan ke
Rumah Sakit Unisiversitair Medicsh Centrum Groningen (UMCG), tepatnya di
Unit Rawat Inap Psikiatri. Kunjungan kedua adalah Rumah Sakit
Wilhelmina, tepatnya di Unit Rawat Inap Anak (Pediatric Unit). Dari
kedua kunjungan ini, ada satu hal yang menjadi pusat perhatian saya:
Seragam Perawat !!
Di Unit Psikiatri UMCG, perawat yang bertugas tidak memakai seragam
khusus. Mereka menggunakan baju ‘biasa’. Demikian juga dengan mahasiswa
keperawatan yang sedang praktik disana (hal yang sama terjadi dengan
petugas kesehatan yang lain, seperti psikiater, dokter, ahli gizi,
mahasiswa kedokteran).Menurut mereka, alasan mendasar dari penggunaan
‘baju biasa’ ini adalah untuk mengurangi gap antara petugas kesehatan
dan pasien. Hal ini penting mengingat pasien gangguan jiwa umumnya
menyandang stigma yang besar karena penyakitnya tersebut. Bila pasien
dibuat berbeda pakaiannya, secara tidak langsung menunjukkan bahwa
mereka memang ‘berbeda ‘. Berbeda dari orang sekitarnya yang dianggap
‘normal’, seperti perawat, dokter, bahkan pengunjung.
Sebuah alasan yang logis! Mengingat masalah stigma gangguan jiwa
merupakan masalah besar yang dihadapi pasien. Predikat sebagai
penderita gangguan jiwa begitu buruk dipandang masyarakat, sehingga
membatasi mereka dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Individu dengan
gangguan jiwa merasa sangat tidak nyaman mendapatkan pandangan dari
orang lain yang menatap seolah-olah ingin menyatakan bahwa mereka adalah
‘orang aneh’, ‘berbeda’, tidak normal’ serta julukan lain yang sangat
tidak manusiawi.. Akhirnya, dapat dipahami mengapa penggunaan seragam
khusus bagi petugas kesehatan yang merawat pasien gangguan jiwa
dihindari. Karena, bila di tempat dimana mereka dirawat saja mereka
merasa tidak nyaman dan bertambah rendah diri (akibat adanya perbedaan
yang ‘disengaja’, maka tak ada lagi tempat yang ‘ aman ‘ untuk mereka..
Mungkin saja mereka tetap berpikir ‘ saya memang berbeda, karena dari
penampilan saja selalu bebeda’. Dengan demikian, menurut pendapat saya,
kebijakan meniadakan seragam khusus untuk perawat di ruang rawat inap
psikiatri di UMCG menunjukkan adanya upaya serius dalam mengurangi
stigma yang melekat erat pada individu dengan gangguan jiwa.
Mari melihat sejenak dengan apa yang terjadi di Unit rawat inap anak
Rumah Sakit Wilhelmina. Para petugas kesehatan, termasuk perawat,
memang menggunakan baju yang sama. Tapi seragam yang dipakai sangat
tidak formal. Mereka menggunakan kaus berkerah warna biru dan celana
panjang casual warna putih. Terkesan santai? Memang itulah kesan yang
saya tangkap begitu melihat mereka. Alasan mereka, mereka tidak ingin
menciptakan suasana yang ‘menegangkan’ di hadapan pasien anak.
Bagaimanapun menurut mereka penggunakan seragam formal, atas bawah putih
misalnya, dapat membawa pengaruh psikologis yang tidak menguntungkan
bagi pasien dan perawat. Pasien anak begitu melihat perawat dengan
pasien formal, stetoskop di leher, umumnya beranggapan bahwa perawat
tersebut siap menyuntiknya atau siap melakukan tindakan-tindakan lain
yang menyakitkan (invasif). Bagi perawat, pasien anak yang cemas juga
menghambat program tindakan keperawatan yang diberikan. Anak bisa
menjadi rewel, menolak berinteraksi, atau muncul keluhan lain seperti
sulit tidur,perut mual, dan lain sebagainya. Sekali lagi alasan yang
logis! Bagi saya, kedua gambaran diatas menunjukkan bahwa upaya untuk
menempatkan pasien sebagai ’subyek’ dalam tatanan pelayanan kesehatan
begitu serius dikerjakan. Saya tidak mengatakan bahwa di tempat lain
(Baca: Indonesia) tidak serius dilakukan. Namun, seringkali upaya itu
belum terlihat sampai tahapan implementasi. Saya berkeyakinan, perawat
Indonesia sudah banyak yang berprinsip bahwa pasien adalah ’subyek’
bukan ’obyek’, sehingga upaya apapun yang dilakukan demi kepentingan
pasien. Apapun kebijakan yang dilakukan untuk kepentingan pasien, bukan
semata-mata mencari kekompakan, keseragaman, keserasian, kemudahan dalam
mengenal identitas; tetapi sebenarnya justru menurunkan fungsi perawat
sebagai ’helper’.
Leia mais...