Senin, 08 Oktober 2012

kenapa kita(perawat) memakai seragam putih...???

Seragam Putih-Putih

Ini adalah sekedar berbagi pengalaman dan pendapat tentang seragam perawat. Hari ini adalah kali kedua saya berkunjung ke Rumah Sakit di sekitar Groningen, Netherland.  Pengalaman pertama adalah kunjungan ke Rumah Sakit Unisiversitair Medicsh Centrum Groningen (UMCG), tepatnya di Unit Rawat Inap Psikiatri. Kunjungan kedua  adalah Rumah Sakit Wilhelmina, tepatnya di Unit Rawat Inap Anak (Pediatric Unit). Dari kedua kunjungan ini, ada satu hal yang menjadi pusat perhatian saya: Seragam Perawat !!
Di Unit Psikiatri UMCG, perawat yang bertugas tidak memakai seragam khusus. Mereka menggunakan baju ‘biasa’. Demikian juga dengan mahasiswa keperawatan yang sedang praktik disana (hal yang sama terjadi dengan petugas kesehatan yang lain, seperti psikiater, dokter, ahli gizi, mahasiswa kedokteran).Menurut mereka, alasan mendasar dari penggunaan ‘baju biasa’ ini adalah untuk mengurangi gap antara petugas kesehatan dan pasien. Hal ini penting mengingat pasien gangguan jiwa umumnya menyandang stigma yang besar karena penyakitnya tersebut. Bila pasien dibuat berbeda pakaiannya, secara tidak langsung menunjukkan bahwa mereka memang ‘berbeda ‘. Berbeda dari orang sekitarnya yang dianggap ‘normal’, seperti perawat, dokter, bahkan pengunjung.
Sebuah alasan yang logis! Mengingat masalah stigma gangguan jiwa merupakan masalah  besar yang dihadapi pasien. Predikat sebagai penderita gangguan jiwa begitu buruk dipandang masyarakat, sehingga membatasi mereka dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Individu dengan gangguan jiwa merasa sangat tidak nyaman mendapatkan pandangan dari orang lain yang menatap seolah-olah ingin menyatakan bahwa mereka adalah ‘orang aneh’, ‘berbeda’, tidak normal’ serta julukan lain yang sangat tidak manusiawi.. Akhirnya, dapat dipahami mengapa penggunaan seragam khusus bagi petugas kesehatan yang merawat pasien gangguan jiwa dihindari. Karena, bila di tempat dimana mereka dirawat saja mereka merasa tidak nyaman dan bertambah rendah diri (akibat adanya perbedaan yang  ‘disengaja’, maka tak ada lagi tempat yang ‘ aman ‘ untuk mereka.. Mungkin saja mereka tetap berpikir ‘ saya memang berbeda, karena dari penampilan saja selalu bebeda’. Dengan demikian, menurut pendapat saya, kebijakan meniadakan seragam khusus untuk perawat di ruang rawat inap psikiatri di UMCG menunjukkan adanya upaya serius dalam mengurangi stigma yang melekat erat pada individu dengan gangguan jiwa.
Mari melihat sejenak dengan apa yang terjadi di Unit rawat inap anak Rumah Sakit Wilhelmina. Para petugas kesehatan, termasuk perawat,  memang menggunakan baju yang sama. Tapi seragam yang dipakai sangat tidak formal. Mereka menggunakan kaus berkerah warna biru dan celana panjang casual warna putih. Terkesan santai? Memang itulah kesan yang saya tangkap begitu melihat mereka. Alasan mereka, mereka tidak ingin menciptakan suasana yang ‘menegangkan’ di hadapan pasien anak. Bagaimanapun menurut mereka penggunakan seragam formal, atas bawah putih misalnya, dapat membawa pengaruh psikologis yang tidak menguntungkan bagi pasien dan perawat. Pasien anak begitu melihat perawat dengan pasien formal, stetoskop di leher, umumnya beranggapan bahwa perawat tersebut siap menyuntiknya atau siap melakukan tindakan-tindakan lain yang menyakitkan (invasif). Bagi perawat, pasien anak yang cemas juga menghambat program tindakan keperawatan yang diberikan. Anak bisa menjadi rewel, menolak berinteraksi, atau muncul keluhan lain seperti sulit tidur,perut mual, dan lain sebagainya. Sekali lagi alasan yang logis!  Bagi saya, kedua gambaran diatas menunjukkan bahwa upaya untuk menempatkan pasien sebagai ’subyek’ dalam tatanan pelayanan kesehatan begitu serius dikerjakan. Saya tidak mengatakan bahwa di tempat lain  (Baca: Indonesia) tidak serius dilakukan. Namun, seringkali upaya itu belum terlihat sampai tahapan implementasi. Saya berkeyakinan, perawat Indonesia sudah banyak yang berprinsip bahwa  pasien adalah ’subyek’ bukan ’obyek’, sehingga upaya apapun yang dilakukan demi kepentingan pasien. Apapun kebijakan yang dilakukan untuk kepentingan pasien, bukan semata-mata mencari kekompakan, keseragaman, keserasian, kemudahan dalam mengenal identitas; tetapi sebenarnya justru menurunkan fungsi perawat sebagai ’helper’.

0 komentar:

| Copyright © 2010 | KEPERAWATAN TRANSKULTURAL - Shodiqnote.blogspot.com

Template by Odi Cellular |